Stimulasi Anak Mengenal Huruf Di Masa Pandemi

 


Sejak menjadi orang tua, aku merasa semuanya serba mudah. Mudah tersulut emosi, dikit-dikit marah. Mudah moody, lihat suami pulang telat dan nggak sempat pegang anak rasanya kok gemes. Mudah capek, karena ya memang selain tidur kurang, pikiran ini juga terbagi antara tugas sebagai istri, ibu, dan pekerja yang memaksa semuanya harus selesai tepat waktu. Meski sekarang sudah mulai terasa jauh lebih baik karena sebentar lagi anak semata wayangku memasuki dunia si empat tahun. Rasanya senang karena ia sudah jauh lebih mandiri, sudah nggak dikit-dikit teriak manggil ibunya karena beberapa pekerjaan sudah mampu ia lakukan sendiri. Walaupun kadang sedih karena kok secepat ini ya waktu berlalu. Hah, cepat ???? seribu hari belakangan ini bukannya dipenuhi masa nada bicara naik 2 oktaf?


Terlebih setelah usia 2+ rasanya tanggung jawabku tak hanya soal menemaninya bermain. Ada tugas khusus yang aku sadari menjadi amanahku sebagai orang tua. Mulai dari mengenalkan tentang ibadah (sholat, mengaji, puasa, dan kegiatan keagamaan lainnya), urusan kognitif yang kadang jadi persaingan antara ibu-ibu di grup, sampai urusan berat badan juga masih menjadi masalah, pun ada beberapa practical life skills yang harus mulai dikenali sejak dini agar anak mandiri sesuai usianya.


Rasanya aku egois jika memaksa anak usia dini untuk paham semua hal dalam satu waktu. Apalagi jika anak mendengar kata belajar sepertinya "horror", alhasil aku mencoba menciptakan kegiatan asyik yang pastinya ditunggu-tunggu oleh anakku saat aku libur. Ialah bermain mengenal huruf. Kegiatan mengenalkan huruf A-Z dengan cara bermain yang menyenangkan. Karena balita fitrahnya masih lebih banyak bermain, jadi bermain sebagai fokus utamanya. Kenal huruf sebagai bonusnya. 


Awal mula (usia 2+)

Pertama kali aku mengenalkan Kian (begitu panggilan anakku) soal huruf di usia 27 bulan. Tepatnya setelah stress fase GTM yang melanda selama setahun lamanya ini berangsur pulih. Setelah aku memastikan pikiranku tidak terbelenggu melulu soal BB dan GTM anak, aku mulai fokus mengejar urusan akademiknya.


Saat itu aku bingung, harus mengenalkan dari mana dulu dan apa dulu? apakah huruf hijayiyah? alfabet? atau angka dulu. Yang pertama aku lakukan adalah membeli poster edukasi dan menempelnya di dinding kamar. Kenapa di kamar? karena kami banyak menghabiskan waktu di kamar pada malam hari, dan kebetulan anakku tidur sering larut karena menunggu ayahnya pulang kerja.


Awal-awal ekspektasiku akan "seru", ternyata "dilirik juga enggak". Ah ya sudah, saat itu aku juga berfikir mungkin dia belum tertarik. Beberapa bulan berselang, masih juga belum paham, mungkin aku yang salah metode. Nggak menarik, nggak seru! Akhirnya aku cari cara "gimana ya caranya anak ini bisa asyik mengenal huruf?".


Sekitar usia 2,5 tahun, aku coba metode bernyanyi. Bermula iseng buka youtube dan ada unggahan tentang belajar huruf sambil bernyanyi. Setelah dicoba, wah metode ini cukup menarik perhatian anakku. Kebetulan anakku tipe talkactive, jadi ia senang sekali diajak bernyanyi atau ngobrol. Aku masih ingat betul, liriknya seperti ini :

"Aku adalah huruf A, bentuknya seperti gunung"
"Huruf B seperti kacamata dan C seperti bulan sabit"



... dst sampai Z aku ngarang sendiri yang sekiranya ia paham "imajinasi bentuknya" dan mudah di hafal. Awal aku merasa anakku mulai tertarik adalah saat kami pergi ke sebuah tempat, di depannya ada gapura besar bertuliskan "D***** CANTIK" dengan huruf C-nya besar sekali dan mencolok warnanya. Seketika anakku teriak "mami, itu ada huruf yang kaya bulan sabit".





Wah, rasanya senang sekali. Layaknya dapat lotre, aku merasa akhirnyaaaa selama ini dia menyerap apa yang aku ajarkan dan baru sekarang ia mengirimkan feedbacknya. Sungguh luar biasa, padahal aku sempat berada di fase frustasi, jadi males, baper juga, hahaha.


Mengawali proses belajar anak pertama kali dengan membuatnya "mau dan betah" duduk manis untuk bisa mengikuti instruksi dan juga konsentrasi. Proses ini lumayan panjang, karena anak balita pasti lebih senang menghabiskan energinya untuk bergerak ya. Lalu bagaimana cara membuatnya tertarik ? ini adalah pengalamanku, berdasarkan beberapa informasi yang aku dapatkan saat seminar :


Kenali kesukaan anak (preferensi). Kebetulan Kian sejak 2 tahun suka sekali dengan profesi dan transportasi, khususnya pemadam kebakaran dan trus pemadam.

Stimulasi motorik halus anak. Caranya? waktu itu Kian lagi suka banget main play dough, lalu aku ajak ia sensory play, ini juga tidak mudah karena Kian ada gangguan sensori taktil, tapi berhubung aku harus membenahi gangguan ini, stimulasinya cukup sering aku paparkan. Bonusnya adalah, anak ini jadi mau berlama-lama duduk.

Kenali instruksi. Sejak usia 11 bulan aku suka menginstruksikan satu hal "Kian tolong ambilkan botol warna biru", botol minumnya yang tergeletak beberapa langkah. Dan ia mengerti, lama-lama aku tingkatkan instruksinya sesuai dengan usianya.

Ajak bermain worksheet. Ini sangat membantu anak asyik dengan motorik halusnya. Isi worksheetnya yang mudah saja dulu, karena usianya masih 2,5 tahun aku hanya memberinya pengenalan warna, beberapa geometri sederhana seperti segi empat, segitiga dan lingkaran, dan aku perbanyak tentang profesi dan transportasi. Respon anaknya? senang sekali saat lembar kerjanya menampilkan sisi yang ia gemari. Minta diulang sampai gurunya (baca: ibunya) bosen.


Disini aku sadar, menjadi seorang pendidik, terutama untuk anak usia dini dan sekolah dasar itu tidak mudah. Karena bukan hanya soal kognitif yang harus baik, tapi poin utamanya adalah bagaimana aspek sosial dan emosional anak agar bisa beradaptasi dengan kehidupannya kelak.


Fase Lanjutan (usia 3+)

Selama usia 2 tahun itu aku terus bernyanyi sambil menunjuk beberapa huruf di poster yang aku tempel di dinding kamar. Kebetulan posternya juga informatif karena tak hanya berisi huruf tapi juga gambar yang memudahkannya dalam mencari huruf yang aku tanya. Fase usia 3+ menjadi fase yang paling menggemaskan, karena ia mulai makin tertarik pada pengenalan huruf ini.


Hingga suatu hari mengenalkan huruf ini menjadi hal yang menyenangkan, meski untuk waktu yang singkat sekitar 15-20 menit. Awalnya merasa "kenapa belajar gini doang kok sebentar aja udahan sih?". But, hey ! dia masih anak 3 tahun yang rentang konsentrasinya aja baru 3x jumlah umurnya. Well said, kadang sebagai orang tua ada ambisi terselubung apalagi kalau lihat anak orang lain lebih unggul ya. Tapi childhood memory bukan untuk coba-coba apalagi dipertandingkan.


Saat itu aku cuma yakin semuanya akan tepat pada waktunya. Aku cuma berusaha untuk konsisten dalam stimulasi, setiap hari, meski hanya beberapa menit saja. Setidaknya upaya itu membuahkan hasil. Alhamdulillah.


Setahun belakangan ini aku menyempatkan diri membuat kreasi yang menarik untuk mengenalkan huruf. Banyak sumber yang bisa di dapatkan secara mudah dari internet, tinggal disesuaikan saja dengan ketertarikan anak dan kesulitan membuatnya. Jujur saja aku baru sempat membuatnya saat anak tidur malam, sedangkan jam tidur anakku biasanya diatas jam 23.00, jadi aku harus rela memotong waktu tidurku agar besok pagi mainan ini sudah bisa dimainkan.


Beberapa mainan yang aku sajikan sudah aku post di instagramku seperti :





Sejujurnya setelah aku berkreasi sedikit membuat ragam media belajar, Kian jadi lebih tertarik. Belajar penuh semangat dan yang bikin aku takjub : dia ketagihan ! Poin ini penting karena sejak awal aku ingin anakku suka belajar karena memang dia menyenangi prosesnya, bukan karena keharusan. Tapi memang kegiatan ini aku paparkan setiap hari, terutama saat aku ada dirumah. Jika belum sempat membuat kreasi, tak apa, kadang kita perlu menggunakan bahan yang ada dirumah saja, ini contohnya :






Mengenalkan hijaiyah lebih sulit dari huruf dan angka. Trik pertama agar anak familiar dengan bentuknya, yuk ajak main bersama mobilannya. Ceritanya bikin garasi untuk 10 huruf pertama, setelah familiar baru kenalkan huruf berikutnya sampai selesai.


Persiapan masuk sekolah (usia 4+)

Kini usia anakku mendekati 4 tahun, tepatnya 15 Juli 2021 nanti ia berulang tahun yang ke-4. Sejak sebulan lalu, karena aku merasa dia sudah fasih mengingat huruf besar dan kecil, aku memberanikan diri menginjak ke fase berikutnya : masa persiapan masuk sekolah. Diawali dengan mencari literatur yang mendasari bahwa anak sudah siap secara mental untuk diajari membaca (pre-reading), aku menemukan tautan tentang 9 Cara Membantu Anak Belajar Membaca. Di dalam artikel tersebut dijelaskan tanda kesiapan anakbelajar membaca diantaranya :


1.  Anak tertarik membaca buku

2. Mampu menceritakan kembali isi buku yang ia baca

3. Peka terhadap informasi pada media yang ia temui

4. Bermain kata

5. Mengenal huruf


Kelima poin tersebut sudah ada pada diri Kian. Khususnya poin satu dan dua, sudah ia tunjukkan jauh sebelum aku mengenalkannya pada huruf. Itulah yang mendasariku berani maju pada tahap berikutnya. Belakangan ini juga kami asyik bermain huruf, terlihat ia mulai tertarik pada komputer dengan mulai mengganggu saat aku asyik menulis. Kebetulan aku suka menulis (menulis antologi, ngeblog, atau sharing di media sosial), dan beberapa minggu terakhir ini aku mulai memiliki "saingan" karena harus berebut siapa duluan yang bisa menggunakan komputer dirumah. Hfftt.


Ternyata semua tahapan ini ada prosesnya, dan tentu saja waktunya. Setiap anak punya waktunya sendiri dan aku yakin itu tidak serta merta, melainkan buah stimulasi kita yang kadang kita sendiri lupa pernah mengajarinya. Tak jarang aku berharap banyak atas apa yang aku tanamkan, misalnya : hari ini aku ajari dia hal baru, aku berharap saat itu juga ia akan mampu. Nyatanya tidak. Repetisi itu penting lho, bukan hanya soal long term memory, tapi juga bagaimana apa yang kita tanamkan itu menjadi pedoman juga buat anak-anak kelak.


Mendekati usia 4 tahun, aku mencoba stimulasi pre-reading dengan kegiatan berikut :



Bermodalkan begitu banyak materi yang tersebar di internet, aku modifikasi sedikit, tentu saja disesuaikan dengan kemampuan anakku saat ini. Ternyata mengajari sesuatu yang baru bagi anak tak perlu merogoh kocek besar ya buibu, aku sendiri hanya gunakan magnetic alfabet yang harganya cukup affordable di market place dan ngeprint materinya sendiri. Taraaaaa, anak senang mamak bisa sedikit me time. Jujur aku kadang sambil mengerjakan pekerjaan kantor atau kerjaan domestik saat anak sedang asyik bermain. Sesekali mulutku melontarkan pertanyaan atau ikut tertawa agar suasana tetap dua arah.






Saat jadwal WFO tentu saja setiba dirumah energiku sudah berkurang jauh. Rasanya perjalanan Jakarta-Bogor menguras semuanya. Tapi aku nggak boleh egois, jadi gimana caranya tetap bisa belajar? ya gini, anak belajar kita bisa sambil rebahan memantau. Seru kan?


Tapi dari sekian banyak pengalaman menstimulasi anak dirumah saja (terutama masa pandemi ini) tentu banyak drama yang dilalui. Karenanya saya yakin tidak setiap saat anak memiliki mood bagus, hati yang bahagia, semangat yang membara, energi yang luar biasa. Tidak. Maka kebutuhan validasi emosi menjadi upaya agar anak terus merasa bahwa apa yang ia rasakan itu normal dan boleh. Pemenuhan tangki cinta menjadi mutlak bagi siapa saja, terutama anak-anak. Seorang ibu pasti bisa menebak love language anak seperti apa. Kian sendiri tipe senang diberi sentuhan, jadi aku selalu bermanja-manja, peluk-peluk dulu, main kelitikan, main apapun yang sifatnya bersentuhan, baru mengajaknya "belajar".


Lelah hayati menjawab pertanyaan yang sama, hehehe.

Nah, dewasa ini kita lebih mengenal istilah merdeka belajar. Tentu saja merdeka ini bukan berarti bebas tidak belajar. Tidak. Merdeka belajar diartikan sebagai kebebasan memperoleh pengetahuan dan pembelajaran baru, melalui media apapun karena saat ini teknologi sudah sangat canggih. Ilmu bisa dicari dimana-mana bahkan sambil rebahan, dengan syarat : sumbernya jelas.


Jadi, seperti yang pernah dikatakan oleh Kak Aio selaku pegiat dongeng :

"luangkanlah waktumu, jangan tunggu waktu luang"

aku menerapkan prinsip ini juga untuk berbagai hal yang berkaitan dengan orang-orang yang kita sayangi, terutama membersamai anak. Semoga terinspirasi ya, karena mendidik anak itu tidak mudah dan tidak sebentar. Kuncinya satu, konsisten.


Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Parenting Story Blog Competition.
Ingin berkenalan lebih dekat, boleh mampir ke instagramku ya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pizza Merakyat, the one and only Pizza in Purworejo

Sejarah Budaya Lomba 17-Agustus-an dan Pelestariannya Untuk Anak Generasi Pandemi

Pengalaman Pertama Masak Praktis Bersama Halofudi