Catatan anak bangsa : selamatkan calon generasi muda Indonesia dari rokok

Indonesia adalah negara kepulauan, dengan jumlah penduduk 237.641.326 (hasil sensus tahun 2010) dan sekitar 18% nya adalah usia dibawah 18 tahun. Berdasarkan Kementerian Kesehatan RI yang mengacu pada UU Republik Indonesia No.23/2002 tentang perlindungan anak, anak merupakan seseorang yang berusia dbawah 18 tahun. Hal ini berarti pelajar sekolah menengah pertama dan atas juga dikategorikan dalam usia anak-anak.

Secara psikologis, usia ini masih sangat rentan terhadap reaksi lingkungannya. Bagaimana keluarga dan lingkungan bersikap akan menjadi panutan bagi mereka. Hal ini dapat kita saksikan dalam kehidupan nyata sehari-hari, dimana banyak sekali anak usia <18 tahun yang sudah berperilaku selayaknya orang dewasa. Miris memang, namun inilah yang terjadi di Indonesia dewasa ini.

Menurut KPAI (komisi perlindungan anak Indonesia) tahun 2013, terdapat sepuluh perilaku masalah pada anak yang harus diwaspadai oleh orangtua maupun pemerintah, diantaranya:

  1. Obesitas/kegemukan
  2. Penyalahgunaan obat
  3. Perilaku merokok
  4. Keamanan dalam mengakses internet
  5. Stres pada anak
  6. Bullying (kekerasan pada anak)
  7. Kehamilan usia muda
  8. Pelecehan dan penelantaran anak
  9. Penyalahgunaan alkohol
  10. Tidak memiliki waktu untuk berolahraga

Dari sepuluh topik masalah pada anak-anak di Indonesia, saya sangat tertarik untuk mengulas masalah perilaku merokok pada anak.

Mengapa demikian?

Karena saya sangat prihatin akibat terlalu sering menyaksikan secara langsung anak-anak merokok bebas, tanpa menghiraukan sekitarnya. Banyak sekali, yang paling umum ditemukan adalah di jalanan, namun tidak memungkiri ditemukan di tempat publik seperti mall, taman, maupun arena publik lainnya, bahkan di kawasan sekolah dan angkutan umum yang notabene merupakan kawasan tanpa rokok.

Anak-anak memiliki rasa penasaran yang sangat tinggi terhadap hal-hal baru, sehingga mereka akan mudah menerima hal baru yang dianggap menantang baginya. Karena bagi sebagian orang, merokok diasumsikan sebagai perilaku yang tidak buruk, dan cenderung dianggap sebagai perilaku keren yang menggambarkan gaya hidup anak gaul.

Saya prihatin, melihat anak kecil, sekitar usia 6-10 tahun berkumpul di jalanan dengan membawa gitar kecil dan rokok di tangan. Mereka masih terlalu kecil untuk itu, namun karena pengaruh lingkungan yang sangat keras, mereka mudah terpapar.

Di lain kasus, saya menyaksikan sendiri saat saya duduk di bangku SMA, teman-teman saya merokok dengan sembunyi-sembunyi di kantin sekolah, yang notabene masih dalam kawasan sekolah, namun sedikit luput dari pantauan guru. Tak ada satupun teman yang berani menegur. Sepulang sekolah pun, mereka nongkrong-nongkrong di warung dekat sekolah, dan tentu saja merokok bersama.

Beda lagi dengan di angkutan umum, beberapa waktu lalu saya pernah menegur salah seorang penumpang yang nekat merokok di angkutan umum (angkot). Saat itu pagi hari selepas subuh, cuaca masih sangat dingin, mungkin bermaksud menetralkan suhu tubuhnya, ia merokok. Entah peka atau tidak, ia merokok seakan itu adalah mobil pribadi, tak menghiraukan penumpang lainnya. Hingga saat ditegur, ia berbalik marah dan lekas turun.

Lagi-lagi kesadaran akan pentingnya udara segar bagi orang lain itu adalah hak bagi setiap orang, masih sangat minim. Dan dewasa ini sudah sangat banyak pengumuman dalam bentuk spanduk/sticker dilarang merokok di alat transportasi umum dan kawasan publik (sekolah, pusat perbelanjaan, taman).

Kawasan dilarang merokok (gambar by: google.com/image)

Kebiasaan merokok sejak dini akan terus berlanjut hingga usia dewasa, bahkan lansia. Kebiasaan buruk ini apabila tidak segera diberantas akan menyebabkan meningkatnya generasi muda Indonesia yang terpapar oleh rokok. Bisa dibayangkan berapa kerugian akibat merokok setiap hari, selama berbulan-bulan, sepanjang tahun....?

Misalnya harga rokok adalah Rp. 10.000 kemudian diasumsikan satu hari anak usia >15 tahun mampu menyisihkan uang jajannya untuk membeli setengah bungkus rokok. Maka dalam sebulan saja biaya untuk membeli rokok adalah Rp. 150.000, kalau diakumulasikan dalam satu tahun? dikali sekian banyak anak-anak? (ini belum dijumlahkan dengan perhitungan biaya beli rokok orang dewasa lho..)

Beberapa kali saya melihat anak-anak jalanan rela bernyanyi (ngamen di angkot) untuk mendapatkan seribu dua ribu, kemudian setelah dapat, hasilnya untuk membeli rokok, atau dipalak oleh yang lebih tua dengan tujuan beli rokok. Mereka lebih mementingkan membeli sebatang rokok daripada membeli makan makanan yang bergizi.

Faktor apa yang menyebabkan mereka seperti ini?
- Kurangnya perhatian orang tua
- Lingkungan yang tidak baik
- Ketidaktahuan tentang apa itu rokok, sebab dan akibatnya


Kalau sudah begini, siapa yang patut disalahkan?

Sejujurnya kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan pemerintah, karena pemerintah sudah cukup mengeluarkan banyak program dengan berbagai peraturan yang membatasi gerak perilaku merokok.

Diantaranya dengan menerbitkan perda atau pergub larangan merokok, terutama di kawasan tanpa rokok (KTR), membuat berbagai peringatan bahaya merokok yang ditempel di hampir setiap ruang publik, dan memberikan denda yang cukup berat bagi perokok yang melanggar. Namun sayangnya, upaya ini belum sepenuhnya berhasil. Mengingat perilaku merokok adalah perilaku buruk yang sulit dihilangkan karena sudah menjadi ketagihan/kecanduan bagi penikmatnya.


Lantas bagaimana solusinya..?

Solusi utama yang bisa kita lakukan adalah dengan bergotong-royong menggerakkan gerakan sadar untuk stop merokok yang dapat diterapkan bagi anak-anak, misalnya dengan:

Memberikat peraturan dan sanksi yang tegas dan diimplementasikan
Membuat sanksi dilarang merokok dengan sanksi tegas yang dapat diimplementasikan. Misalnya, saat di sekolah, Kepala Sekolah membuat peraturan dilarang merokok bagi siswa/i dengan sanksi pemanggilan orang tua/wali siswa, skorsing, hingga tidak naik kelas. Sanksi ini sangat ditakuti oleh anak sekolah, apabila diterapkan bisa membuat jera namun tidak mengakibatkan perilaku bullying pada si anak.


Peringatan dilarang merokok (gambar by: google.com/image)


Razia merokok
Ditujukan bagi anak-anak jalanan yang dengan bebas merokok tanpa pandang usia. Petugas bisa langsung membawa mereka yang tertangkap merokok untuk dibawa ke kantor/pos dan diberikan penyuluhan. Memang tidak mudah memberikan penyuluhan, harus berulang kali dan sebaiknya jangan membiarkan anak jalanan tetap di jalanan, karena akan kembali dengan kebiasaan merokoknya. Solusinya bisa dengan membuka rumah untuk menampung anak-anak jalanan dengan memberikan pelatihan hingga mereka bisa mencari rejeki dengan keahliannya. Misalkan pelatihan menjahit bagi anak perempuan, dan pelatihan otomotif bagi anak laki-laki. Tentunya dengan dukungan pemerintah / LSM untuk sarana dan prasarananya.

Penyuluhan masyarakat
Umumnya dilakukan oleh mahasiswa atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mendukung gerakan stop merokok. Saya pernah menjadi bagian dari program ini saat kuliah dahulu. Hasilnya? tidak semua orang mau mendengarkan kita untuk stop merokok, beberapa diantara mereka masih ada yang tetap bertahan dengan rokoknya.

Kegiatan kampus saya saat itu adalah turun ke jalan, tepatnya ke Bundaran HI, Jakarta, untuk mengkampanyekan gerakan peduli kawasan tanpa rokok. Kegiatannya dilakukan dengan mengajak masyarakat yang sedang jalan santai atau berolahraga disana (yang merokok) untuk mematikan rokoknya dan kami ganti dengan permen. Namun seperti tadi saya katakan, mereka lebih memilih rokoknya dan berlalu begitu saja.

Salah satu aksi saya dan teman-teman mengkampanyekan gerakan stop merokok (gambar by: dok. pribadi)


Menaikkan harga jual rokok dan membatasi penjualannya
Menurut saya ini adalah cara terbaik, karena diasumsikan jika harga rokok semakin mahal, maka orang akan berfikir beberapa kali sebelum membeli rokok. Namun hingga saat ini masyarakat masih mampu membeli rokok, kalau tidak sebungkus, masih banyak warung yang bersedia menjual eceran/batangan.

Batasi penjualannya dengan cara melarang anak dibawah <18 tahun untuk membeli rokok. Saya masih sering sekali melihat minimarket menuliskan tulisan "tidak menjual rokok pada anak usia < 17 tahun" namun pada kenyataannya masih ada beberapa yang melakukannya.


Sadar dan stop merokok pada diri sendiri
Kebiasaan inilah yang harus kita sadari sedini mungkin, kemudian mengajak orang lain untuk mengikuti jejak kita. Sulit memang menghalau suatu kecanduan yang sudah lama mengendap di tubuh dan pikiran kita. Namun bagaimana kita bisa dan mampu merubah orang lain untuk lebih baik, jika diri kita sendiri masih mencontohkan hal buruk yang dapat dengan mudah ditiru oleh orang lain, terutama anak-anak.



Mulai dari sekarang, mari kita canangkan gerakan stop merokok. Jangan ragu untuk menegur siapapun yang merokok di kawasan tanpa rokok, jangan ragu menegur anak-anak yang sembarangan merokok dan marilah kita sedikit demi sedikit merubah mindset perokok kecil ini untuk bisa hidup lebih sehat. Ganti uang untuk biaya merokok dengan kebutuhan lain yang lebih bermanfaat, seperti membeli makanan yang bergizi agar tubuh tetap sehat dan bugar.

Mari lindungi anak dan adik kita, calon generasi emas Indonesia dengan memberikan mereka pengetahuan apa itu rokok, bahan berbahaya apa saja yang dapat merusak tubuh kita akibat rokok sudah sering dijumpai di hampir setiap tempat umum. Seyogyanya peringatan dibuat untuk dijadikan batasan untuk gaya hidup kita, matikan rokok sekarang sebelum rokok mematikan kita.

Poster tubuh seorang perokok  (gambar by: google.com/image)


*   *   *

Terima kasih telah mengikuti sharing tentang masalah pada anak-anak khususnya merokok, semoga dapat menginspirasi kita untuk berhenti merokok dan hidup lebih sehat.  



Salam hangat
 - DeviGo -

devitayogo@gmail.com | facebook or twitter





Rujukan pustaka :

Komentar

maulanaarif mengatakan…
Wah menarik sekali, trimakasih ilmunya

Postingan populer dari blog ini

Pizza Merakyat, the one and only Pizza in Purworejo

Sejarah Budaya Lomba 17-Agustus-an dan Pelestariannya Untuk Anak Generasi Pandemi

Pengalaman Pertama Masak Praktis Bersama Halofudi