Pencapaian Tertinggi dalam Hidupku
Wah, tema hari ke empat ini sulit (tawa kecil). Sulit karena sebagai manusia aku merasa belum mencapai hal paling tinggi dalam hidupku. Atau mungkin sudah, tapi barangkali di depan sana akan ada pencapaian yang lebih tinggi lagi. Wallahu alam, aku tidak mau takabur. Karena aku tidak mau terlalu cepat berpuas diri, berbangga jiwa.
Bicara tentang pencapaian, Alhamdulillah semua yang terjadi padaku hingga tulisan ini ditayangkan, semua atas kehendak dan ijin Allah SWT. Banyak sekali mimpi-mimpiku yang tercapai atas bantuanNya.
Berawal dari titik balik kisah hidupku sekitar tahun 2001, aku yang sama sekali menghabiskan waktuku hanya untuk nongkrong ketawa ketiwi dengan teman segenk sampai larut malam, ngecengin cowok-cowok yang entah bagaimana kehidupannya sekarang. Berantem sama anak RT sebelah karena merasa paling jago dan gaul. Sampai pernah dikunciin ibuku karena aku sangat bandel. Kala itu aku masih duduk di bangku SMP. Di akhir kelas tiga, tiba-tiba aku punya target :
"aku harus masuk SMA favorit"
Target ini tak sekonyong-konyong tiba. Aku merasa malu saat harus "memohon" kepada tetanggaku yang saat itu menjadi guru di SMP tersebut. Setelah pembagian NEM waktu SD, nilaiku sangat jelek, ya tentu saja. Aku tak punya pilihan untuk masuk SMP favorit. Rasanya aku sangat kecewa, malu, kesel pada diri sendiri.
Aku beranikan diri mendatangi rumah tetanggaku, kebetulan anaknya adalah teman mainku, meski kami selisih 2 tahun. Lalu aku yang sok ini dengan PDnya memohon agar bisa diterima di SMP tersebut. Aku masih ingat betul kata-katanya saat itu. "Apa yang akan kamu lakukan kalau keterima nanti?".
Bagiku yang anak baru kenal dunia, aku malu sekali ditanya seperti itu. Rasanya seperti tidak ada harga diri lagi sampai harus memohon seperti itu. Singkat cerita, aku diterima. Sejak saat itu setiap kali pelajaran beliau, aku selalu disindir. Tak tanggung-tanggung, ia menyebut semua kelakuan burukku di lingkungan rumah, bagaimana aku mempunyai previlage dari orang tuaku, dan sebagainya. Sakit rasanya.
Dalam hati aku berjanji untuk tidak akan minta bantuan sama siapapun untuk apa yang aku ingin dapatkan. Aku hanya tidak ingin pertolongannya menjadi hutang untukku. Janjiku aku tepati, aku mulai rajin belajar dan tidak kumpul-kumpul lagi.
Tiga tahun berselang, aku menunjukkan pada mereka yang mencemoohku bahwa aku bisa ! aku diterima masuk SMA favorit dengan nilai yang cukup tinggi. Pada saat itu aku bebas memilih dua SMA yang mau aku masuki. Senang sekali rasanya, aku tak perlu lagi mengemis belas kasihan agar bisa masuk sekolah negeri.
Aku beranikan diri mendatangi rumah tetanggaku, kebetulan anaknya adalah teman mainku, meski kami selisih 2 tahun. Lalu aku yang sok ini dengan PDnya memohon agar bisa diterima di SMP tersebut. Aku masih ingat betul kata-katanya saat itu. "Apa yang akan kamu lakukan kalau keterima nanti?".
Bagiku yang anak baru kenal dunia, aku malu sekali ditanya seperti itu. Rasanya seperti tidak ada harga diri lagi sampai harus memohon seperti itu. Singkat cerita, aku diterima. Sejak saat itu setiap kali pelajaran beliau, aku selalu disindir. Tak tanggung-tanggung, ia menyebut semua kelakuan burukku di lingkungan rumah, bagaimana aku mempunyai previlage dari orang tuaku, dan sebagainya. Sakit rasanya.
Dalam hati aku berjanji untuk tidak akan minta bantuan sama siapapun untuk apa yang aku ingin dapatkan. Aku hanya tidak ingin pertolongannya menjadi hutang untukku. Janjiku aku tepati, aku mulai rajin belajar dan tidak kumpul-kumpul lagi.
Hari terus berganti, semangat belajarku semakin terasah. Benar kata pepatah, bagaimana diri kita hari ini, bergantung pada siapa kita bergaul. Perlahan cita-citaku mulai tercapai, aku bisa masuk perguruan tinggi negeri tanpa tes, di dalamnya aku dikenal sebagai anak yang pintar (meski kadang aku pelit urusan catatan kuliah -- yang benar saja, mereka asyik ngobrol masa aku berbaik hati meminjamkan catatanku).
Saat kuliah aku mendapatkan beasiswa dan terpilih mewakili teman seangkatan untuk mengikuti akreditasi kampus. Aku lulus dengan nilai cumlaude, IPK 3,76. Suatu kebanggan, pada saat itu.
Tak lama setelah kelulusan, aku diterima bekerja sebagai ahli gizi di sebuah RS di Jakarta Selatan. Entah kenapa, disana aku diperlakukan berbeda. Aku dianggap membawa perubahan dengan inovasi yang aku lakukan, sampai puncaknya aku diizinkan mengambil sarjana sambil bekerja, tak perlu absen, datang seluangnya saja.
Tapi profesionalisme kerja bukan hanya soal hubungan baik antara aku dan atasan, terlebih adalah hubungan dengan rekan kerja yang bekerja sama dengan kita setiap hari. Aku memilih mundur dan fokus pada kuliahku.
Singkat cerita, aku diterima di salah satu PTN di Bogor, aku ambil cuti karena bertepatan dengan waktuku bekerja, awalnya tidak bisa, tapi setelah aku menghadap pembimbingku, akhirnya diizinkan. Tahun berikutnya saat aku harus kembali ke bangku kuliah, aku iseng mencoba PTN lain di Depok, ternyata aku diterima.
Aku sangat bahagia karena aku bermimpi ingin sekali menggunakan jaket kuning kebanggan semua siswa. Setelah meminta ridho ayah ibuku, akhirnya aku melepas jaket biru dan mengenakan jaket kuning. Bangga rasanya. Seperti mimpi. Sampai lupa bahwa aku sudah bayar SPP untuk satu tahun penuh di kampus pertama, dan sayangnya bayaran ini hangus. Di tahun yang sama orang tuaku mati-matian mencari uang karena harus bayar satu tahun penuh juga untuk kampus kuning.
Aku sangat bahagia karena aku bermimpi ingin sekali menggunakan jaket kuning kebanggan semua siswa. Setelah meminta ridho ayah ibuku, akhirnya aku melepas jaket biru dan mengenakan jaket kuning. Bangga rasanya. Seperti mimpi. Sampai lupa bahwa aku sudah bayar SPP untuk satu tahun penuh di kampus pertama, dan sayangnya bayaran ini hangus. Di tahun yang sama orang tuaku mati-matian mencari uang karena harus bayar satu tahun penuh juga untuk kampus kuning.
Perkuliahanku di tahun terakhir, teman-temanku sudah mulai menyelesaikan skripsinya. Sedangkan aku? masih bimbingan yang tak kunjung menemui titik terang. Berkali-kali ganti judul, tak membuat semuanya berjalan mulus. Aku lebih lama dari temanku karena aku membantu penelitian dokter gizi dan harus bolak-balik Bogor-Jakarta untuk mewawancarai responden. Menjadi asisten peneliti ternyata seru, meski capek, tapi banyak uangnya (hahaha).
Setelah teman-teman di wisuda gelombang pertama pada Febuari 2014, aku merasa ada di titik terendah. Aku malu karena aku belum lulus juga, akhirnya aku nekat mencari kerja. Niatku satu, aku tak ingin merepotkan kedua orang tuaku lagi dengan biaya SPP yang sangat tidak murah.
Aku meninggalkan rumah dan ngekost di daerah Blok M. Sama seperti sebelumnya, aku bekerja menjadi ahli gizi di salah satu RS besar disana. Pertama kali meninggalkan rumah, ibuku menangis, maklum aku anak tunggal. Ibuku berkata "nggak usah kerja jauh-jauh nduk, mama masih bisa bayar kuliahmu".
Enggak. Aku nggak bisa begini terus, terkungkung dalam hangatnya previlage. Aku menjalani pekerjaanku (3 shift) dan ngekost di sebuah rumah yang tidak bagus-bagus amat, kamar mandinya hanya beralaskan semen dimana siapapun yang mau mandi harus menggunakan sendal, beberapa sudutnya berlumut, lampunya remang-remang lebih ke arah gelap kala malam tiba, ada satu bak besar untuk 6-8 penghuni terbuat dari semen berlapis keramik, di dalam bak itu aku melihat banyak cacing kecil yang menggeliat-geliat. Geli sekali. Aku rela pulang ke Bogor kalau sudah harus "menyetor" daripada ada cacing masuk tubuhku. Kalau mandi, aku harus mencari siasat, yaitu saat penghuni lain menggunakan kamar mandi tersebut sehingga aku ada alasan pinjam kamar mandi ibu kost, airnya lebih bersih. Aku tak sampai hati menceritakan ini pada orang tuaku, biarlah jadi saksi keringat aku mencari rejeki di ganasnya ibukota.
Enggak. Aku nggak bisa begini terus, terkungkung dalam hangatnya previlage. Aku menjalani pekerjaanku (3 shift) dan ngekost di sebuah rumah yang tidak bagus-bagus amat, kamar mandinya hanya beralaskan semen dimana siapapun yang mau mandi harus menggunakan sendal, beberapa sudutnya berlumut, lampunya remang-remang lebih ke arah gelap kala malam tiba, ada satu bak besar untuk 6-8 penghuni terbuat dari semen berlapis keramik, di dalam bak itu aku melihat banyak cacing kecil yang menggeliat-geliat. Geli sekali. Aku rela pulang ke Bogor kalau sudah harus "menyetor" daripada ada cacing masuk tubuhku. Kalau mandi, aku harus mencari siasat, yaitu saat penghuni lain menggunakan kamar mandi tersebut sehingga aku ada alasan pinjam kamar mandi ibu kost, airnya lebih bersih. Aku tak sampai hati menceritakan ini pada orang tuaku, biarlah jadi saksi keringat aku mencari rejeki di ganasnya ibukota.
Satu bulan berselang, aku dipromosikan naik menjadi tim quality control, tapi aku menolak. Aku lebih baik berkenalan lebih jauh dengan lingkungan sekitarnya daripada memimpin rekan yang pastinya akan menusukku dari belakang. Aku tak akan lama disini, pikirku. Ini hanya batu loncatan.
Lima bulan kemudian, aku sudah semakin sulit membagi waktu. Akhirnya aku putuskan resign. Dan sebulan kemudian aku wisuda. Alhamdulillah. Wisudawan UI ternyata tak serta merta mudah mencari pekerjaan. Aku bolak-balik mencari kerja, mengelilingi ibukota dari barat, utara, selatan, bahkan sampai ke Karawang. Nihil.
Aku kembali kerumah, membantu ayahku menjaga warung internet. Usaha yang sangat rame meski berisiknya bukan main. Empat bulan berlalu, aku keterima kerja di sebuah kampus kedokteran di Salemba. Inilah jalan hidupku. Aku merelakan mimpiku menjadi dokter karena ibuku tak ingin aku mengabdi di pelosok negri. Tuhan berikan kesempatan lain, aku bekerja membersamai dokter-dokter disini, di bagian publikasi. Sesuai passionku.
bener kata senior, di kampus ini masuk susah, keluar lebih susah |
Aku kembali kerumah, membantu ayahku menjaga warung internet. Usaha yang sangat rame meski berisiknya bukan main. Empat bulan berlalu, aku keterima kerja di sebuah kampus kedokteran di Salemba. Inilah jalan hidupku. Aku merelakan mimpiku menjadi dokter karena ibuku tak ingin aku mengabdi di pelosok negri. Tuhan berikan kesempatan lain, aku bekerja membersamai dokter-dokter disini, di bagian publikasi. Sesuai passionku.
Cerita belum usai. . . . .
Selama tiga tahun bekerja aku memliki target, aku harus punya tabungan untuk bekal menikah dan hidup baruku nanti. Allah kabulkan, bukan hanya satu, tapi tiga kali lipatnya. Pernikahan impian terjadi di tahun 2016 setelah 8 tahun masa penjajakan yang tentu saja tidak mudah. Pernikahan dihadiri oleh seluruh keluarga besar kedua pihak, teman-teman ibu dan ayahku, temanku, dan semua orang yang mengenal kami. Aku mengeluarkan sebagian tabunganku untuk membiayai sebagian besar kebutuhannya. Orang tuaku tentu saja membantu, semampunya.
Selepas menikah, aku tak boleh meninggalkan rumah. Suamiku tak keberatan. Kami tinggal bersama orang tuaku sementara rumah sedang dibangun. Rumah yang letaknya hanya beberapa langkah saja (hehe). Setelah menikah aku pikir akan lebih baik, ternyata tidak. Omongan orang masih saja ada. Cuitan "kok belum hamil" seringkali muncul saat aku bertemu di jalan. "ah masih juga pengantin baru dua minggu" pikirku sembari berdo'a agar aku segera diberi momongan.
Allah mendengar do'aku. Ia menitipkan amanah padaku tepat 2 bulan setelah menikah. Aku seperti banyak dibantu sama Allah. Sembari mengusap perutku yang masih kempis, terlantun do'a "Ya Allah, aku ingin punya anak laki-laki, agar bisa menjadi teman bagi ayahku". Sembilan bulan kemudian, lahirlah bayi laki-laki dengan ramput pirang nan tipis, muka kebule-bulean, kulit putih dengan senyum menawan. Surat Yusuf pikirku. Ini mungkin karena selama hamil aku selalu baca Surat Yusuf dimanapun. Sehari satu surat sampai hampir hafal. Masya Allah Tabarakallah.
Setelah kelahiran anak ini, aku memutuskan resign. Dengan sangat terpaksa dan berat hati aku mengambil keputusan ini. Ibuku masih bekerja dan tak ingin meninggalkan jiwa raganya disana, aku juga tak ingin egois. Akhirnya aku memutuskan membersamai anak dirumah. Sakit rasanya, berpisah dari passion hidupku. Tapi aku lebih mencintai anakku tentu saja.
Perlu 365 hari lebih untuk aku bisa ikhlas dengan posisiku saat ini. Beberapa kali aku berniaga untuk membunuh waktu luang, nyatanya aku tak bisa. Banyak andai yang aku ucap. Sampai saat anakku 2,5 tahun aku ditawari kembali bekerja di kantor lamaku. Serius? Aku hampir tak percaya.
Iya, nyatanya aku kembali bekerja sebulan sebelum Indonesia dinyatakan pandemi. Sampai saat ini.
Lantas nikmat manalagi yang aku dustakan?
Bagaimana aku bisa memilih satu pencapaian tertinggi dalam hidupku,
Perlu 365 hari lebih untuk aku bisa ikhlas dengan posisiku saat ini. Beberapa kali aku berniaga untuk membunuh waktu luang, nyatanya aku tak bisa. Banyak andai yang aku ucap. Sampai saat anakku 2,5 tahun aku ditawari kembali bekerja di kantor lamaku. Serius? Aku hampir tak percaya.
Iya, nyatanya aku kembali bekerja sebulan sebelum Indonesia dinyatakan pandemi. Sampai saat ini.
Lantas nikmat manalagi yang aku dustakan?
Bagaimana aku bisa memilih satu pencapaian tertinggi dalam hidupku,
kalau semua yang aku alami adalah pencapaian terbaik menurut Allah?
Kuncinya satu, sedekah sebanyak-banyaknya, seikhlasnya, jangan mengharap apapun selain ridho Allah SWT.
Terima kasih BPN 30 Day Ramadan Blog Challange telah membuat tema ini.
Semoga berkenan membaca kisah hidupku, jangan lupa mampir berkenalan lebih dekat.
Kuncinya satu, sedekah sebanyak-banyaknya, seikhlasnya, jangan mengharap apapun selain ridho Allah SWT.
Terima kasih BPN 30 Day Ramadan Blog Challange telah membuat tema ini.
Semoga berkenan membaca kisah hidupku, jangan lupa mampir berkenalan lebih dekat.
Komentar